Detak dalam Detik - EDUKASIPERS.ORG

Breaking News

Detak dalam Detik

Dok. Edu | pixabay.com
Pada akhirnya ini semua
Hanyalah permulaan
Pada akhirnya kami semua
Berkawan dengan sebentar

     Suara penyanyi kenamaan Indonesia itu masih bergema di kamarku, mengisi keheningan dengan lirik-lirik yang seolah mengajakku bangkit. Tapi, aku memilih diam. Dengan perlahan, kuambil gawai di meja samping tempat tidur dan mematikan lagunya. Keheningan memenuhi ruangan, menyisakan suara jam dinding yang terdengar semakin jelas. 

     Tidak sengaja, mataku menyoroti tumpukan bingkisan di lantai. Beberapa di antaranya bertuliskan ucapan selamat, dan selempang berwarna keemasan dengan namaku terukir indah tergeletak di atasnya. “Oh iya, tadi ya,” gumamku, seraya menggeliat mencari posisi yang nyaman.

     Aku tertawa kecil melihat tumpukan itu. “Berantakan. Aku yang membawa semua ke sini? Entahlah. Tapi lucu juga, sih,” kataku dengan suara serak yang hampir tak terdengar.

     Kebingunganku perlahan sirna, terganti oleh ketukan jam dinding yang terus memanggil perhatianku. Suaranya menggema, seolah mengingatkan bahwa waktu tak pernah berhenti. Aku mendesah pelan, terganggu. Alunannya terasa seperti pengingat yang tak henti bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan sekarang?”

     Sebuah kutipan melintas dalam pikiranku, “Bagaimana jika kita tidak jadi apa-apa?”

     Aku mendecak pelan, mencoba mengusir keraguan itu. “Mustahil kalau aku tidak jadi apa-apa, ya kan? Orang-orang tahu aku sudah sejauh ini. Semua ini pasti ada artinya. Yang benar saja, capek-capek kuliah sampai capek-capek foto habis sidang, tidak jadi apa-apa? Omong kosong,” batinku mencoba melawan.

     Namun pikiranku tak berhenti. Seperti pita film, kenangan kehidupan perkuliahan terputar kembali di kepalaku. Pagi-pagi aku lalui demi mengejar waktu, siang-siang yang ku habiskan di kelas dengan energi yang terkuras, sore-sore yang terisi oleh diskusi, hingga malam-malam yang membuatku susah napas akibat tumpukan tugas. Tapi aku berhasil melewatinya. Semua yang kulalui terasa seperti medan perang, dan aku adalah prajurit yang keluar sebagai pemenang. Setidaknya, itulah yang ingin ku yakini.

     Yang kali ini seragam perangku adalah seragam persidangan. Ya, aku masih mengenakannya, tanpa almamater yang sudah kulepas. Bunyi jam dinding kembali menggangguku, mengingatkan bahwa perang baru segera dimulai.

     Pikiranku melayang jauh.
“Tapi nanti bagaimana, ya?”
“Aku bisa melewatinya, kan?”
“Dunia kerja itu kejam, katanya. Tiada ampun untuk kesalahan.”
“Iya, sih. Tapi kita bukan nabi, boy.”

     Aku mencoba menghentikan pergulatan di kepalaku. Sayangnya, semakin aku mencoba, semakin pikiranku menjeratku dalam kegelisahan. Bayang-bayang kegagalan yang pernah ku alami muncul kembali, seperti duri yang menusuk di tempat yang sama.

     Aku tertawa getir. Kekhawatiran ini membuatku jengah. Dengan sisa tenaga, aku bangkit dari tempat tidur, meraih gawai yang sebelumnya kugunakan untuk mematikan lagu itu. Saat layar menyala, tanpa sengaja lagu yang sama kembali terputar.

Mengingat bodohnya dunia
Dan kita yang masih saja
Berusaha

     Aku buru-buru menghentikannya. Kali ini, aku tak ingin mendengarnya lagi.

     Aku terduduk, mengatur napas yang terasa berat. Udara yang kuhirup perlahan mengisi paru-paruku, menyusup ke seluruh tubuh, mengalirkan darah yang terus memompa jantungku. Di tengah keheningan, aku mendengar irama yang tak pernah berhenti—detak jam dinding di sudut ruangan, dan detak jantungku di dalam dada.

     Pada detik-detik itu, aku tersadar akan satu hal: aku masih di sini. Waktu terus berlalu, dan hidupku, meski penuh keraguan, tetap berjalan.

     Adzan ashar sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Aku bergegas bangkit, melangkah menuju tempat wudu. Dalam keheningan sore itu, aku memutuskan untuk menyerahkan semua kegelisahanku kepada-Nya, Sang Maha Pendengar, Yang Maha Bijaksana.

(Sabrilian)

Tidak ada komentar