Pesta Dunia Barat yang Mengusir Kunang-Kunang Desa
Dok Edu| Kartika |
Oleh:
Abu Aman*
Kunang-kunang
di desaku begitu indah, cahaya hijau menghiasi diremang-remang malam. Desa yang
berada jauh dari kota--plosok desa. Setiap pagi aku bisa menikmati matahari
terbit dengan udara yang menyegarkan. Ketika menjelang sore, aku memandang
senja yang berubah jingga kemerah-merahan diserta angin bersayup-sayup menerpa
badan kecilku. Saat malam datang, aku bisa melihat kehidupan, rembulan, bintang
gemintang bertaburan dan kunang-kunang mengelilingi kepalaku dan teman-teman,
yang sekali-kali aku tangkap dan dimasukan kebotol.
Sesekali
aku diajak ayah ke sawah, saat malam hari aku membawa pancing, tidak lupa aku bawa
botol berisi kunang-kunang hasil tanggkapanku di depan rumah, saat berkumpul
bersama teman-teman menikmati bulan purnama. Saat musim hujan, banyak aku
jumpai orang-orang memancing di gorong-gorong sawah yang menghubungkan antar
sawah. Dan di gorong-gorong itu, aku memancing sambil menikmati suaru kodok
saling sahut-sahutan, memecahkan keheningan malam yang dingin. Bukan ayah saja
yang memancing di sawah, melaikan orang-orang juga memancing dengan pancing
yang sedikit modern. Mereka tersenyum, sendah gurau terlihat saat mereka memdapatkan
ikan. Senyum dimana membuat aku dan ayah iri, meskipun ayah hanya memakai alat
pencing dari bambu, aku lebih asyik. Pancing dari banbu mengingatkan kepada para
pejuang kemerdekaan, saat-saat melawan para penjajah dengan bersenjata bambu
runcing.
Aku
menikmati kehidupannku di desa mengenal Indonesia yang subur serta jauh dari
kebisingan dunia kota. Karena setidaknya aku memiliki kisah yang indah di desa,
menyaksikan ribuan kunang-kunang terbang bebas, menghinggapi rumah-rumah
penduduk. Ada juga yang menjadikan aku seperti kafilah, menemukan air di gurun
sahara, seperti para penduduk bisa tersenyum lepas tanpa beban sedikitpun
begitu juga para kafilah saat berjumpa oase meraasakan kebahagiaan. Tidak perlu
jalan-jalan ke kota, menikmati kerlap-kerlip lampu kota, penyusuri kota di pinggir
jalan dan menikmati kebisingan jalan raya. Penduduk sangat lega dengan
rutinitas memancing di gorong-gorong sawah dan meyaksiakan kunang-kunang.
Berada
di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota, membuat penduduk tidak memiliki nasib dan
menjadi orang-orang di bawah kolong jembatan, meminta-minta guna sesuap nasi,
hanya bisa makan sehari satu kali. Baju yang compang-camping, wajah yang sendu
tidak ada mentari dalam hidupnya, hanya senja yang merah bergaris dari ufuk
barat menghampari cakrawala langit. Untuk mengubah senja itu sangat sulit,
karena mentari yang mereka miliki telah diambil paksa oleh pemerintah.
Sawah-sawah dan kunang-kunang di ambil paksa di bangun gedung-gedung mencakar
langit, seperti kompeni yang merebut kemerdakaan negeriku dengan rela berkerja Rodi
dan Romusha.
***
Saban
hari aku menikmati bunyi burung-burung di ladang, menikmati padi sambil mandi
di gorog-gorong sawah. Pagi ini aku putuskan menjaga ladang, agar terhindar
dari makanan burung, ditemani koran yang ayah peroleh dari kota kecamatan.
Ladangku ada semacam patung manusia, terbuat dari jerami dipakaikan baju dan
topi bekas ayahku. Aku gerak-gerakan dengan tali dari batang pelapah pohon
pisang yang sudah di keringkan. Aku tarik dari pojok sawah, hamburan burung
pergi, takut terhadap patung yang bergerak-gerak menyerupai manusia.
Terkadang
aku berpikir, mungkinkan menikmati burung-burung dan kunang-kungan saat malam. Saat
berada di titik yang jenuh, aku teringat akan sebuah peristiwa, waktu pergantian
rezim Soeharto ke Peresiden Susilo Bangbang Yodhiyono, lambat laun berubah.
Jalan-jalan raya sekarang sudah bagus, sudah diaspal semua, seperti jalan-jalan
kota, meskipun tidak sebagus di kota kecamatan. Tetapi berawal dari jalan dari
perbaikan jalan, semua akan berubah dan tidak akan adalag cerita, aku dan ayah menikmati
kunang-kunang di sawah.
Sedikit
demi sedikit kebiasaan desaku semakin berubah, akupun menjadi berubah, dulunya
aku bisa menikmati suara katak dari sawah, sekarang tidak, tidak ada lagi
seindah malam hari di tengah sawah.
***
Detik-detik
perubahan desaku, Aku menyendiri di sudut desa, diatas batu besar, melihat
kebawa sungai dengan sunyi, tidak ada lagi senyum dimalam hari, saat warga
menangkap ikan. Penduduk seakan berkabung dari kenangan pedesaan. Mereka merayakan
ke indahan seperti kota kecamatan. Aku sendiri takut, takut tidak memiliki
senyum yang tulus, dimana senyum itu tanpa ada pengkhianatan, apalagi senyum
yang munafik. Seperti senyum saat rembulan di wajah para penduduk, saat hasil
pancingannya banyak.
Aku
berpikir diatas batu, dikelilingi kunang-kunang yang hanya aku temui di hutan,
tidak seperti dahulu, di teras rumah saat malam-malam, bermain dengan
kunang-kunang. Untuk mendapatkan atau berjumpa harus masuk kehutan. Ini terasa
pesta para kau barbar menguasai desa, mengubah pola-pola kehidupan, sedikit demi
sedikit telah tergantikan. Kepada siapa aku akan curahkan ketidak terimaan
hatiku, pada sikap-sikap pemeritah yang membuat desaku berubah atau pada
pohon-pohon yang telah punah.
Aku
mengelus dada saat menemukan penebang liar, pohon-pohon di hutanku sudah
semakin hari semakin habis. Kunang-kunang lari dan ada yang meninggal rumahnya,
lantaran ditebang, bukan saja
kunang-kunang di desaku yang sudah mengurangi, burung-burungpun semakin
berkurang. Dulu aku bisa menangkap burung di teras rumah, sedangkan sekarang, harus
masuk kejantung hutan. Dan satu lagi, kisah desaku terbentuknya sikap-sikap
menyendiri, tidak ada lagi saling berkunjung, hanya sekedar menyapa atau
meminta tolong, semua menyendiri, seperti aku yang sedang sendiri di atas
bongkahan batu besar.
***
Di
waktu malam saat aku terdiam diteras rumah, memandang lampu-lampu di pinggir
jalan sepi. Aku masih seperti tadi, memandang jalan raya di depan rumah, sepi
tidak ada keramain anak-anak kecil bermain petak kumpet, bercanda di bawah
pohon mangga, saling membicarakan mimpi-mimpi dan cerita-cerita tentang
kunang-kunang.
“Ilham,”
Suara ayah dari dalam rumah dan menghampiriku.
“Iya
ayah.” Aku jawab keras takut ayah tidak mendengar. Aku tidak bergeming
panggilan ayah, mau bergerak saja tidak mampu. Aku masih setia pada
kesendirianku. Ayah datang memegang pundakku. Aku menoleh sebentar tanpa senyum
sedikitpun.
“Ada
apa Ilham?.” Tanya ayah duduk di sampingku.
“Ilham
mau ayah ceritakan tentang negeri barat?.” Kata ayah memandang aku dengan rasa kasihan.
Aku tertarik dengan tawaran ayah, bercerita tentang negeri barat. Ayahku pernah
menjadi tenaga kerja Indonesia, sekitar lima tahun lalu, jadi sedikit banyak
mengetahui kehidupan dan kebiasaan orang-oarang barat.
Di
negeri barat yang jauh dari Indonesia, ada bermacam-macam negara yang memiliki
kebudayaan lebih modern. Kehidupannya tidak mengenal malam, semua waktu menjadi
siang, siang tanpa malam, seandainya anak-anak kalau ditanyakan oleh orang tua,
siapakah yang menciptakan hari tanpa malam?, pasti semua orang dengan sepakat menjawab
orang barat.
Orang-orang
barat tidak memiliki sawah-sawah nan hijau, burung-burung yang bernyanyi-nyanyi
ceria, hembusan udara segar menggoda naluri, dan bermain lumpur berlarian di
tengah sawah, saat sedang membajak. Semua itu hanya dimiliki orang-orang desa.
Orang barat hanya memiliki salju yang mendinginkan suasanya, ditambah siang
yang tidak pernah ada malam. Kalau ada definisi malam, orang barat mendefinisikan
malam itu untuk bersenang-senang dengan laki-laki, perempuan tanpa harus ada
ikatan.
Perempuan
sudah terbiasa gonta-ganti pasangan, begitu juga dengan laki-laki. Semua itu
mengatas namakan suka sama suka dan hak asasi manusia, tetapi bukan atas nama
cinta. Mereka memiliki asumsi cinta dengan pengertian yang sangat rumit,
serumit germerlap malam di kota metropolitan, penuh dengan ketidak pastian. Orang
barat senang sekali melihat situasi dunia sudah berubah, dunia barat telah
menjadi kiblat dunia. Senyum orang di negeri barat sangat manis, berbanding
jauh dari senyuman orang plosok desa. Senyum di negeri barat seperti manisnya
madu, yang akan pudar saat rasanya hilang. Berbeda dengan senyum orang desa,
senyum sederhana, ditambah lesung pipi, kesederhanaan itu, seperti matahari
yang selalu memberi harapan. Orang desa hanya bisa saling berbagi, menghargai,
menghormati, menyayangi dan mencintai tanpa melupakan kacang lupa kulitnya.
Seperti
langit yang sedang mendung hitam pekat, rembulan samar-samar menyinari bumi.
Dikala cerita ayah tentang negeri barat semakin mengkhawatirkan. Aku teringat kembali
cerita ayah kalau di negeri barat menganggap hal yang biasa, melakukan
salayaknya seperti sepasang suami istri. Aku takut kejadian pada masa lalu
terjadi lagi, saat desaku menjadi kota, orang-orang menjadi semakin egois, mementingkan
kehidupan masing-masing. Kemungkinan-kemungkinan bisa terjadi dalam mencari perayaan.
Saat
peristiwa krisis moneter di tahun 1998, berujung pada kerusuhan, pada saat Soeharto
menjabat sebagai presiden. Warga Indonesia akan melakukan kekerasan dan
pelecehan seksual, kepada para wanita dan etnik Tionghoa. Aku takut, saat nanti
catatan kelam terulang lagi. Melihat pertokohan di kota kecamatan banyak di
kuasai orang China dan orang Indonesia yang menjadi kulinya. Aku takut nanti
kebencian orang Indonesia, saat dunia barat mulai menguasai Indonesia. Pasti
semua itu penuh dengan dengan kemunafikan dan kebohongan yang membuat warga China
terpingirkan.
Seperti
malam ini, malam yang kelam dan petang, para penduduk sedang terbuai dalam
mimpi-mimpinya. Angin malam menusuk tulang-belulang, membuat aku enggang
lama-lama di serambi rumah. Namun saat aku langkahkan kaki, mau masuk ke dalam
rumah, ada suara aneh yang terdengar dari kardu, tempat biasa dulu bermain
petak kunpet. Aku melangkahkan kaki keluar, meski dingin menuju sumber suara.
Di samping itu, aku sendiri memikirkan cerita ayah saat bekerja di dunia barat.
Aku saksikan sendiri perempuan dan laki-laki berduan. Aku tertegung. Beginikah
perayaan di dunia barat yang hanya memenuhi nafsunya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar