Bersyukur Bersama dalam Bingkai Perayaan Unduh-unduh - EDUKASIPERS.ORG

Breaking News

Bersyukur Bersama dalam Bingkai Perayaan Unduh-unduh

 

Dok|Qureta.com

“Bentuk syukur atas nikmat yang Tuhan telah berikan dengan saling berbagi kepada semua yang ada di dunia.” 

Itulah ungkapan yang disampaikan oleh Pendeta Muryo Jayadi saat ditemui kru LPM Edukasi siang itu, (9/11) lalu. Raut wajahnya terlihat tenang, matanya lurus memandang ke depan dan senyumnya lebar sekali. 

 Selama hampir lebih dua tahun mengabdikan dirinya di Gereja Kristen Kejawan Wetan (GKJW) Mojowarno, Jombang, ia selalu menyebarluaskan pesan-pesan cinta dan perdamaian, tak hanya kepada seluruh jemaat gereja juga kepada masyarakat sekitar.

 Ia juga menekankan untuk selalu bersyukur atas nikmat yang melimpah dari Tuhan. Salah satu bentuknya adalah dalam kegiatan perayaan yang dilakukan bersama seluruh masyarakat di Mojowarno yakni Hari Raya Unduh-unduh. Dirayakan satu kali di tiap tahunnya pada Sabtu dan Minggu bulan Mei. Waktu ini menyesuaikan jadwal panen masyarakat. 

 Perayaan ini bentuk kepercayaan umat Nasrani di Mojowarno atas melimpahnya berkah hasil panen yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mulanya, perayaan ini dilakukan pada 1879 silam, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. 

Kata unduh-unduh diambil dari kata ngunduh yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti memetik. Jadi dapat diartikan unduh-unduh yang diadakan satu kali dalam setahun ini memiliki makna sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. 

 Masyarakat Mojowarno akan membentuk rangkaian bangunan berisi bahan mentah hasil panen seperti padi, jagung hingga hewan ternak. “Lalu, nanti akan dibawa ke altar untuk proses perayaan,” jelas Pendeta Muryo. 

 Pendeta Muryo kemudian menceritakan alur dalam proses perayaan ini. Diawali dengan upacara kebethan. Kata kebethan sendiri berasal dari bahasa Belanda gebeth yang artinya doa. Tujuan upacara kebethan ini sebagai satu upacara kegiatan mengawali bercocok tanam penduduk Mojowarno yang beragama Kristen. 

Rangkaian acara selanjutnya adalah upacara keleman. Upacara tersebut, dilakukan oleh masyarakat Mojowarno sebagai bentuk syukuran ketika padi sudah mulai matang (berisi). Diikuti pembacaan doa kepada Tuhan dengan harapan bisa panen tanpa ada hama yang merusaknya. 

 “Ya berdoa, meminta kepada Tuhan agar panen ke depan juga mendapat berkah dan tidak ada kendala,” lanjut Pendeta Muryo. 

 Dalam upacara keleman yang dilakukan adalah menyajikan makanan berupa kue dan blendung (jagung). Kedua jenis makanan ini sudah lebih dahulu dibentuk seperti ular-ular atau ulat. Simbol makanan ini diartikan seakan-akan kue melambangkan hama, supaya hama tidak menyerang padi maka diambil dan dimakan manusia.

 Sebelum puncak upacara Unduh-Unduh, hari Sabtu tepatnya diselenggarakan kegiatan pentas seni lintas agama. Pentas seni yang diprakarsai oleh pemuda-pemuda Kristen ini menggandeng ikatan pemuda antar umat agama lain untuk terlibat dan mengisi acara di pentas seni. 

Pendeta Muryo menuturkan, “peran pemuda-pemuda Kristen ini langsung terjun menyusun rangkaian acara dalam pentas seni. Mengundang pemuda-pemuda lintas agama lain seperti IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’) dan IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama’) untuk ikut menampilkan satu pertunjukkan.” 

 Puncak perayaan Unduh-Unduh dilasanakan pada hari Minggu-nya. Bangunan yang dibentuk masyarakat dan berisi hasil bumi atau binatang di ketujuh gereja di Mojowarno akan diarak menuju pusat GKJW Mojowarno. 

 Menurut Pendeta Muryo Hari Raya Unduh-unduh ini tidak hanya diikuti oleh jemaat gereja saja. Masyarakat di luar gereja juga turut berpartisipasi. Seperti yang dilansir dari Qureta, masyarakat juga turut memberikan bantuan tenaga untuk membantu membuat bangunan-bangunan besar. Bangunan-bangunan ini yang kemudian digunakan dalam pawai untuk diisi hasil panen dan ternak. 

Ona, jemaat GKJW Mojowarno merasa senang dan bahagia tiap Hari Raya Unduh-unduh tiba. Pasalnya selain mengucap syukur kepada Tuhan atas panen tahun ini dan berdoa untuk panen tahun depan, ia gembira melihat keramaian kegiatan. Baginya kegiatan itu dapat turut menjadi hiburan yang menyatukan seluruh umat beragama di sana. 

 “Bisa jadi hiburan untuk semua dan memberikan keberkahan kepada semuanya,” ucapnya. 

 Hal yang sama juga diceritakan oleh Indah (45 tahun). Menurutnya ia dan masyarakat lain di luar jemaat gereja juga turut menyemarakkan dan meramaikan kegiatan dengan mengikuti lelang hasil panen. Pelelangan ini dilakukan saat pawai unduh-unduh sudah tiba di gereja pusat. 

 “ikut dalam perayaan unduh-unduh ini sangat meriah dan bisa ikut serta dalam pelelangan hasil panen,” tutur Indah. 

Koodinator Jaringan Islam anti-diskriminasi dan Aktivis Gusdurian wilayah Jombang, Aan Ansori juga punya pendapat yang tidak jauh berbeda. Baginya kegiatan unduh-unduh ini adalah kegiatan yang menggembirakan untuk seluruh umat di sana. 

 “Selain terjadi interaksi antar seluruh umat juga menghidupkan dana publik karena terjadi interaksi pelelangan hasil panen dan ternak. Jadi dana dari umat dikembalikan lagi untuk umat,” jelasnya. 

 Didik Tondo Susilo selaku Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Jombang juga turut mengapresiasi kegiatan ini. Baginya perayaan unduh-unduh dapat dilihat sebagai wujud keharmonisan yang terjalin antar-umat beragama. Ia yang juga menjadi Sekretaris Umum Forum Komunikasi Masyarakat Jombang (FKMJ) ini menambahkan bahwa kegiatan ini sebagai ajang silaturrahmi antar umat agama yang lain. Sehingga terus menumbuhkan toleransi kepada semua. 

 “setiap kali datang dalam perayaan unduh-unduh sebagai bentuk silaturrahmi antar umat beragama yang lain,” tuturnya 

Di akhir pertemuan Pendeta Muryo berharap agar perayaan Unduh-unduh ini dapat terus menjadi wadah pendetakan diri seluruh masyarakat di Mojowarno. Tidak hanya menjadi wadah berinteraksi untuk jemaat gereja, tapi juga kerja sama dengan masyarakat luas tanpa memandang agama. 

“Kita tahu bahwa antarumat beragama, kita mempunyai misi untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mengupayakan selalu menjalin hubungan yang baik dengan seluruh makhluk di seluruh alam,” sahutnya. (Slstiamrf) 

 

 ***

Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Tidak ada komentar