Ketika Jurnalis Jatuh Cinta - EDUKASIPERS.ORG

Breaking News

Ketika Jurnalis Jatuh Cinta


Dok Edu|Faishal
Oleh: Abu Aman

Aku terdiam di meja nomor 32 kedai kopi 96 daaerah Wonocolo dekat kampusku. Secangkir kopi sudah dari tadi diantarkan, mengepul bau harum membangunkan hasratku untuk menghirupnya. Aku duduk sendiri menunggu senior kampusku, mau berdiskusi tentang kepenulisan. Entah dari mana datangnya, sura perempuan memangil dari masa lalu. Sangat jelas ditelingaku kalau suara perempuan sungguh nyata aku dengar. Aku edarkan pandangan, melihat-lihat perempuan disekitarku. Tetapi tidak ada. Suara itu telah membawaku kepada masa lalu.

Perempuan dengan rambut tergurai panjang tanpa ikatan, warna hitam pekat, berponi, ditambah senyum manisnya dan tak kalah indahnya saat tatapannya memandangku. Aku terdiam, tidak dapat berkata-kata, badan ringkuk, gemetar, canggung dan terasa dada ini berdetak keras. Untuk perempuan itu cepat-cepat lari ke dalam kelas saat bel berbunyi.

Sudah sejak lama aku mengaguminya sering kali aku mencuri pandang, melihat dia saat ada di belakang kelas. Aku memerhatikannya setiap hari, tanpa absen aku melihanya. Waktu itu masih kelas enam sekolah dasar dan dia adalah adik kelasku. Sekarang kurang lebih sudah delapan tahun berlalu, aku sudah tidak lagi bertemu dengan dia. Rasa yang aku miliki masih sama seperti dahulu -mengaguminya. Walaupun aku sekolah ditempat lain dan satu lagi yang membuat aku kecewa kepadanya. Saat itu aku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, mendengar berita kalau dia sudah bertunangan dengan orang lain.

Aku masih tidak kecewa kepadanya, karena semua yang terjadi padanya bukanlah kehendaknya. Semua yang menimpanya atas nama perjodohan. Perlu kamu ketahui kalau aku masih saja mengaguminya dengan cara sederhana, tanpa harus aku memilikinya, cukup sekedar melihatnya bahagia itu semua sudah cukup untukku. Asumsiku saat itu, namun saat aku sudah menginjak kelas tiga Sekolah Menengah Atas, semua berubah aku ingin memilikinya seutuhnya tanpa mau berbagi.

Kamu tau?, saat aku lulus, ternyata dia sudah menikah dengan tungannya. Aku sudah tidak berdaya lagi. Kekagumanku telah mengalahkan kekuatanku untuk tidak menangis. Tangisan ini, tangisan pertamaku untuk perempuan selain ibuku. Dia telah membaut aku luka.

Aku masih seperti tadi memagang gedget. Aku lihat seniorku sudah sejak lama berada di warung kopi 96. Dia memanggilku, panggilan dari seniorku merusak semua ingatanku tentang dia. Aku meghampirinya yang sedang bersama teman-teman wartawan kampus. Aku juga wartawan, tetapi aku wartawan abal-abalan. Aku menemuinya dengan janji yang cukup lama menunggu untuk sekedar berdiskusi kecil tentang kesukaan menulis.

Dia masku, aku sering memanggilnya dengan Mas Fakih asal Bojonegoro. Sudah lama aku bertemu dengannya, kalau tidak salah saat semester tiga awal. Waktu sekretariatannya dibobol maling. Aku berkunjung ke sekretariatan tempat Mas Fakih menjadi pimpinan umum, diajak pimpinan umum mediaku. Aku belum begitu akrab, baru bertemu dua kali ini selama satu tahun setengah. Bertemu diawal semester tiga dan bertemu lagi akhir semester tiga. Sederhana pertemuan aku dengannya.

Mas Fakih mantan pimpinan umum lembaga pers kampus tahun lalu, sekarang diganti oleh Mas Muham asal Tuban mahasiswa jurusan Sastra Inggris dan satu prodi dengan Mas Fakih. Mas Muham juga pimpinan umum angkatan sekarang. Jadi kemampuannya sama-sama tidak diraguan lagi dalam tulis-menulis. Di sela-sela celotehku dan teman-teman wartawan kampus. Aku terbesit pernahkah mas-masku ini jatuh cinta?, atau dalam kamus wartawan kampus tidak ada definisi jatuh cinta. Aku sedikit bingung kerena teman wartawan lainnya mengatakan kalau Mas Fakih jomblo, sedangkan Mas Muham tidak tau sih, soalnya aku tidak pernah melihat dia bersama cewek selain wartawan kampus. Pernah satu kali, tetapi aku takut salah, aku buang sajah pikiran nakalku ini.

Diskusi kali ini hanya membahas persoalan kepenulisan, motivasi menulis, situasi literasi di kampus sekarang dan yang akan datang. Mas Fakih juga ngasih saran kepadaku tentang semangat menulis dan memberi arahan untuk membaca cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku”. Mas Muham memberikan kumpulan cerpen karya Seno Gumera Ajidarma. Aku mengingat ucapan seniorku ini, kalau kampusku telah pada gila jabatan. Kalau sudah tergila-gila kepada jabatan, sebagai wartawan kampus akan menghambat terhadap produktivitas kepenulisan.

Panjang kali lebar, kali luas kami bicarakan tentang kepenulisan dan saran-saran untuk membaca. Aku masih gerogi bersama mereka, tetapi seniorku ini yang beda media bersifat terbuka, jadi aku tidak ada masalah selanjutnya. Komunikasi berjalan dengan lancar. Saat berbicara bersama mereka timbulah sedikit pikiran nakal, tentang perempuanku. Pertemuan kali ini diakhiri dengan janji mau main ke sekretariatannya.

Saat hati telah tertutup, tidak ada lagi rasa kepada perempuan, kecuali pada perempuan yang aku kagumi selama delapan tahun. Sekarang kuliahku sudah berjalan seperti biasanya presentasi, tugas dari dosen, dan tugas meliput. Ada hal yang lain aku temui menjadi wartawan kampus, khusunya wartawan di mediaku. Menjadi seorang wartawan bukanlah hal yang mudah, apalagi saat meliput temannya sendiri. Relakah wartawan membuat berita tanpa harus mendengarkan perasaan, terkadang kasihan, terkadang merasa bersalah, dan terkadang takut di musuhi. Namun menjadi seorang wartawan itu harus meninggalkan itu semua, karena wartawan itu membela yang lemah dan menyuarakan kebenaran, bukan menyuarakan perasaan dan perlu dipahami menjadi jurnalis itu adalah sebuah panggilan. Dalam buku Jurnalisme Dasar disebutkan, skeptis itulah ciri khas jurnalisme. Hanya dengan bersikap skeptis. Sebuah media dapat hidup.

Kejadian itu sangat singkat sekali, tidak pernah aku rasakan perasaan ini. Dari ketertarikanku, mendengarkan cerita-ceritamu dari teman sedaerah. Aku semakin penasaran seperti apakah dirimu. Saat-saat semester satu dan dua, aku tidak berani menyapamu, melihatmu saja aku tidak mampu. Tatapanmu menyihir hatiku untuk selalu memikirkan dirimu. Saat semester dua aku mulai memberanikan diri saat untuk tersenyum, kamu hanya membalas dengan senyummu yang susah aku tafsirkan.

Aku jadi teringat ucapan-ucapan pemimpin umum lembaga pers mahasiswa fakultasku. Sering aku melediki soal hubungannya dengan salah satu wartawan kampus juga, tetapi beda media. Ternyata rasa yang dimilikinya seperti ini. Aku takut kau menolakku, aku merasakan belum pantas untuk kamu miliki. Melihat kondisi ekonomi keluargaku, melihat rupaku yang sederhana, mendengar cerita tentangku, kamu pasti menjauh saat mengetahui semua itu. Jadi aku putuskan berjanji, saat malam itu kepada diriku. Kalau aku tidak akan menyakitimu dengan mengutarakan isi hatiku.

Perasaan yang aku miliki takut salah, jangan-jangan rasa yang aku miliki ini hanya sebatas ketertarikanku padamu atau karena kamu juga seorang wartawan, sehingga aku merasa nyaman berada di sampingmu. Tetapi kemungkinan besar yang aku rasakan. Aku mencintai dengan sederhana. Bukan sesusah membuat berita yang harus sesuai kode etik jurnalistik. Cintaku juga tidak sederhana puisi-puisi para penyair. Cintaku padamu seperti waktu yang bersamamu.

Ketika menginjak semester tiga. Kamu mulai berubah, sering kali kamu memberikan kodek-kode kalau kamu juga tertarik kepadaku, atau ini karena hanya perasaan biasa. Tetapi kalau ini hanya perasaan biasa kenapa dari semester satu sampai semester tiga rasa ini tetap sama, sama seperti dahulu, mengagumi, menyayangi, dan mencintaimu. Mesti wartawan yang takut untuk mengungkapkan ini, sebab wartawan juga memiliki rasa yang butuh orang mencicipi rasa ini.

Ada yang lebih sederhana lagi. Setiap waktu aku meliput acara-acara besar di fakultasku, atau terkadang aku disuruh meliput diluar kampus. Aku tetap saja melihatmu dikejahuan, seakan kau melambai, mengajak aku menikmati kehidupan sebagai sepasang wartawan sejati. Entah ini hanya perasaaan ku saja atau ini murni halusinasi yang ingin cepat-cepat bersamamu.

Waktu berjalan dengan perlahan perasaan telah dibumbui oleh kehadiranmu yang semakin jelas. Kalau kau belum ada yang punya. Ingatkah saat kita liputan, saat acara pengenalan kehidupan kampus mahassiwa baru, aku sudah berjanji akan membantumu, aku takut kau disakiti oleh panitia, aku takut kau tidak dapat berita, aku takut kau sakit dan aku takut beritamu itu jelek yang nantinya di marah-marahin seniormu.

Aku menunggu balasan whasappamu, di grup pers mahasiswa, kau tidak kujung membalas. Aku menunggu di pertigaan arah fakultasku. Aku bertanya keteman-temanmu. Ternyata kamu meliput di fakultasmu sendiri. Aku berharap meliput di fakultasku, aku akan membantu semuanya. Namun ternyata semua itu hanya harapan nisbi. Saat aku tahu kamu tidak meliput di fakultasku, aku lari menjauh dari teman-temanku menuju kamar mandi. Berkaca dan sedikit sakit hati. Satu kali lagi aku menangis untuk perempuan.

Malam tiba, aku tertidur pulas di kos mungilku. Aku sendiri tidak ada yang mengganggu. Teman kosku sebelah tidak pernah menanyakan kalau aku seorang wartawan, mereka hanya tau kalau aku mahasiswa pendidikan. Saat pesan whatsapp menyala, pesan darimu aku langsung terbangun.
            “Zamroni, gimana liputannya?.” Tanyamu darimu -Sasmita.
            “Biasa, kalau di fakultasku sangat sulit untuk liputan, mempotret saja langsung dikejar-kejar disuruh dihapus,” jawabku girang.

Terasa urat saraf terbangun dari lelah seharian mencari berita. Pesan whatsapp selanjutnya hilang. Tidak dibalas. Mungkin Sasmita tau kalau aku menanyakan kepada temannya, alasan Sasminta tidak meliput di fakultasku.

Tiga bulan di semester tiga berlalu. Dan tiga bulan itu waktu saat-saat perasaan yang belum juga terucapkan. Mengingat janji kalau aku tidak akan melukaimu dengan kau mengetahui rasa ini. Tetapi aku akan membahagiakanmu dengan pinangan. Ada kejadian yang sangat aku ingat waktu aku memberikan buku Jurnalisme Dasar karya Luwi Ishawara, kau melihatku dengan sendu, yang mengisyaratkan kalau kau membutuhkanku, kamu membuat aku semakin tertarik.

Saat aku memenuhi undangan seminar yang di adakan oleh kampus, mendatangkan pemateri adik Pramoedya Ananta Toer dan Brili Agung, kau juga datang meliput acara tersebut. Aku semakin bahagia. Kamu menyapaku aku membalas dengan lambaian tangan dan seyuman, kau membalas dengan senyuman juga. Namun saat temanku yang sefakultas denganmu,  duduk disampingku bercerita kalau kamu -Sasmita memiliki hubungan dengan senior oragnisasi keislaman yang diikutimu. Aku tertegung, cerita temanku hanya sebatas angin, semua ceritanya telah membunuh perasaanku. Akupun meninggalkan forum yang belum selesai dengan membawa cinta yang belum pasti.

Tidak ada komentar